Sepeninggal Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah ketujuh Bani Umayyah, rakyat membaiat Umar bin Abdul Aziz menjadi penerus dinasti yang dibangun oleh Mua'wiyah bin Abu Sufyan. Sebelum menjadi khalifah, Umar pernah menjabat Gubernur Madinah. Beliau mempunyai beberapa orang anak, di antaranya Abdul Malik bin Umar. Dia masih muda tetapi ketaqwaan dan kezuhudannya selalu menghiasi lembaran hidupnya.
Alkisah, ketika Umar sampai di rumah, sepulang mengurusi jenazah Sulaiman, datanglah Abdul Malik menghampirinya. Ia bertanya, “Wahai amirul mukminin, gerangan apakah yang membaringkan Anda di siang bolong ini?” Umar bin Abdul Aziz sempat kaget, tatkala putranya memanggilnya dengan Amirul Mukminin, bukan dengan panggilan ayah. Ini mengisyaratkan putranya ingin mempertanyakan tanggung jawab ayahnya sebagai pemimpin negara, bukan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
“Aku letih dan butuh istirahat”, jawab sang ayah.
“Pantaskah Anda beristirahat padahal banyak rakyat yang tertindas?”
“Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti, setelah shalat Zhuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya”.
“Wahai amirul mukminin, siapakah yang menjamin Anda hidup sampai Zhuhur, jika Allah mentaqdirkanmu mati sekarang?” Mendengar ucapan sang anak, Umar tambah terperanjat.
Beliau memerintahkan anaknya mendekat, maka diciumlah pemuda itu sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku seorang anak yang telah membantuku menegakkan agama”. Selanjutnya beliau perintah juru bicaranya mengumumkan kepada seluruh rakyat. “Barang siapa yang merasa dianiaya, hendaknya mengadukan nasibnya kepada khalifah”.
Itulah salah satu cuplikan kehidupan Abdul Malik, seorang pemuda yang shaleh dan bertanggung jawab. Meskipun Allah memberinya usia relatif singkat, kurang dari dua puluh tahun, namun hidupnya diwarnai oleh ketaqwaan, ibadah dan amar ma'ruf nahi mungkar. Dia tidak segan menegur ayahnya saat dilihatnya lalai dalam menjalankan amanah. Dia tidak sungkan menasihati ayahnya agar selalu teguh pada hukum Allah dalam setiap gerak serta langkahnya. Dia tahu semua itu adalah kewajiban yang harus disampaikan dan bentuk implementasi birul walidain (bakti kepada ibu bapak).
Birul walidain adalah hak setiap orang tua. “Dan kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu bapaknya” (QS 29:8). Ia tidak hanya berupa taat, patuh atau turut kepada kehendak orang tua, sebagaimana dipahami oleh sebagian orang. Namun ia lebih dari itu.
Birul walidain adalah nasihat anak kepada orang tua manakala mereka sedang meniti jalan dosa. Allah bercerita tentang nabi-Nya
Mungkin masih banyak diantara kita yang orang tuanya masih terperangkap dalam dosa. Sayangnya banyak pula diantara orang-orang muda yang bergelut dalam da'wah membiarkan orang tuanya tersesat. Padahal mereka lebih berhak dida'wahkan ketimbang orang lain.
Birul walidain juga menuntut mu'asyarah bil ma'ruf (bergaul dengan baik) kepada orang tua. Allah berpesan, “Dan bergaullah kepada kedua nya di dunia dengan baik” (QS 31:15). Dalam sejarah dakwah, banyak sekali kita temukan tokoh-tokoh simpatik yang melegendakan karena baktinya kepada kedua orang tua. Saad bin Abi Waqqas, sebagai contoh, meskipun ibunya musyrik dan mengancam mogok makan jika anaknya tidak mau kembali ke agama semula, beliau tetap menghormati ibunya dan memperlakukannya dengan baik. Bukan sesuatu yang terpuji, jika seseorang muslim, apalagi da'iyah, yang tidak menghormati dan menghargai orang tuanya. Hanya karena beda visi dalam memandang Islam, orang tua divonis kafir atau musyrik.
Banyak sekali contoh kesenjangan yang sebetulnya tidak akan terjadi jika anak mampu menempatkan permasalahan secara wajar. Sebagai contoh kasus pernikahan atau walimah. Banyak orang tua tidak setuju pemisahan antara undangan pria dan wanita. Itu terjadi karena selama ini tradisi yang ada membenarkan dicampurnya undangan laki-laki dan wanita pada satu ruangan. Apatah lagi tradisi tersebut dilegalisir oleh sebagian orang yang dianggap berilmu dan shalih. Kalau saja hubungan sang anak dengan orang tuanya baik, tentunya dia akan mendapatkan kemudahan dalam menghidupkan salah satu sunah Rasulullah SAW, tanpa harus timbul konflik berkepanjangan.
Kita yakin semua orang tua menginginkan anak yang shalih dan bakti seperti Abdul Malik bin Umar. Kita semua tidak pernah mendambakan anak durhaka. Namun yang menjadi pertanyaan, “Apakah kita sudah berbakti kepada orang tua sehingga mengharap keturunan yang baik?” Bukankah ada pepatah, “Bagaimana mungkin bayangan akan lurus jika tongkatnya bengkok?” Dan bagaimana mungkin pula anak akan berbakti jika orang tuanya durhaka. Ingat pesan Rasulullah saw, “Berbaktilah kepada kedua orang tua kalian, niscaya akan berbakti pula anak-anak kalian” (HR. Thabrani).
Sebagai orang yang sedang meniti jalan dakwah, kita dituntut berlaku bijaksana dalam menghadapi berbagai keganjilan yang ada pada orang tua. Jika mereka belum mau shalat, menutup aurat, dan belum siap menghidupkan sunah Rasulullah saw, kewajiban kita hanya mengingatkan mereka dan tidak ada hak untuk memaksakan kehendak. Kalau saja Sa'ad bin Abi Waqqas, Asma binti Abu Bakar diperintahkan untuk berbuat baik kepada ibu mereka yang musyrik, apalagi kita yang mempunyai orang tua yang muslim, tentu mereka lebih berhak untuk dihormati dan dihargai.
Kemungkaran dan kebatilan yang dilegalisir sekarang ini, adalah hasil dari upaya musuh-musuh Islam yang prosesnya sudah berjalan lama. Dan untuk mengembalikannya kepada Al-Haq tentunya butuh waktu lama. Itulah yang disampaikan Umar bin Abdul Aziz kepada anaknya ketika sang anak bertanya kenapa kemungkaran yang ada tidak dicegah secepatnya. Kata Umar, “Hai anakku, umat telah melepaskan ikatan Islam sedikit demi sedikit. Jika aku hapuskan dalam sehari saja, aku khawatir umat akan memberontak dan darah tertumpah. Demi Allah hancurnya dunia lebih ringan bagiku dari pada tertumpahnya setitik darah karena diriku ………………”.