Keadilan adalah fitrah yang amat dicintai manusia, di sudut jagad manapun ia berada. Lantas, mengapa orang sulit berlaku adil?
R isalah keadilan diemban secara turun temurun oleh para Rasul ‘alaihimussalam. Berbagai ajaran wahyu yang mereka sampaikan mendorong tegaknya keadilan di muka bumi dalam bentuk seluas-luasnya. Tak pelak, setiap Nabi yang diutus, selalu menghadapi benturan dari kezaliman yang tersistem dan dilindungi oleh penguasa. Keadilan adalah lawan dari kezaliman. Secara amat sederhana, hakikat keadilan adalah kemampuan untuk “menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Di sinilah orang banyak bersilang pendapat tentang menempatkan sesuatu pada porsinya. Masing-masing ideologi dan pemikiran dunia mengajukan pandangan tentang “bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Ideologi gender a la Barat, memandang kesetaraan antara pria dan wanita sebagai bentuk keadilan yang harus diperjuangkan. Pandangan ini didasarkan pada satu perspektif bahwa keduanya adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Padahal, di sisi lain, terdapat kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa keduanya adalah makhluk yang berbeda dari segi fisik maupun fitrah, meski sama-sama ciptaan Tuhan. Di sini keadilan menemukan jalan buntu. Lain lagi dengan Kapitalisme. Ideologi ini berpandangan bahwa kebahagiaan manusia dapat diraih dengan memenuhi seluruh kebutuhan materialnya. Dengan sendirinya, yang harus dilakukan oleh setiap individu dan masyarakat adalah menjamin terselenggaranya proses penciptaan material seluas-luasnya, agar kebahagiaan berikut peradaban kemanusiaan dapat terbina. Yang terlupakan selanjutnya adalah aspek rohani dan spiritual manusia sebagai makhluk Tuhan. Sebab, kebahagiaan jiwa tak dapat diperoleh melalui pencapaian materi semata. Kebahagiaan misalnya, tak mungkin terwujud dengan memperoleh harta dari hasil menggencet orang lain. Di sini, kembali keadilan menemui jalan buntu. Lain Kapitalisme, lain pula Komunisme. Ideologi yang satu ini memandang perbedaan kelas antara kaum miskin (proletar) dan kaya (borjuis) sebagai sumber malapetaka. Perjuangan antar kelas harus dihapus. Masyarakat bahagia adalah masyarakat tanpa kelas. Terang saja, pikiran ini menyalahi fitrah dan sunnatullah terhadap manusia, di mana mereka diciptakan dalam kelas-kelas ekonomi dan sosial. Padahal, letak persoalan sebenarnya adalah bagaimana membangun hubungan dan pola interaksi yang harmonis antara kaya dan si miskin. Lagi-lagi, keadilan tak menemukan habitatnya. Inilah satu di antara hikmah diutusnya para Rasul ‘alaihimussalam dan diturunkannya berbagai kitab wahyu kepada manusia. Bahwa keadilan dan kebenaran, betapa pun terangnya bagi sebagian orang, tetap membutuhkan para pencerah yang ikut menjelaskan dan mengingatkan. “Dan sungguh telah Kami utus seorang Rasul pada setiap umat agar mereka menyembah Allah dan menjauhi thagut.” (QS an-Nahl:36) Selain itu, keadilan dalam bentuk nyata dan luas, tak mungkin dapat terwujud tanpa campur tangan wahyu. Betapa pun tinggi upaya kreasi dan ijtihad manusia dalam menemukan makna keadilan, perselisihan dan silang pandangan akan terus mewarnai. Di satu saat, keadilan sejati dapat diraih, di lain kesempatan, ia tak sanggup direnggut. Karena itu, amat wajar jika Allah menegaskan, bahwa Allah tak menyisakan satu pun masalah yang tak terbahas dalam al-Qur’an, “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab (al-Qur’an),” (QS al-An’am: 38). Artinya, integralitas ini mencakup juga makna alif-ba-ta keadilan. Karena makna keadilan hanya dapat dipahami secara luas melalui tuntunan wahyu, seringkali pikiran seakan ingin menolak karena tak mampu memahami. Sebagai misal, ketetapan dua banding satu dalam masalah pembagian waris antara pria dan wanita, oleh sebagian orang dianggap tidak adil, karena memasung hak-hak persamaan dan kesetaraan. Setelah memahami tanggung jawab nafqah dan pemeliharaan yang diemban kerabat pria terhadap kerabat wanita, barulah hal itu dapat dipahami. Ini juga adalah rahmat Allah kepada kaum wanita agar tak perlu berpayah diri mencari nafkah setelah sang ayah meninggal. Setelah ini semua, tak boleh lagi ada keraguan dalam benak pikiran seorang Muslim, bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar bagi segala problematika yang menimpa umat ini, khususnya bangsa ini. Islam adalah satu-satunya pandangan hidup yang dapat menjelaskan hakikat keadilan di seluruh lapangan kehidupan: ibadah, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Setiap Muslim bertanggung jawab untuk menerjemahkan berbagai tujuan-tujuan Islam dalam kehidupan nyata. Bukan malah menggadaikan Islam demi kepentingan politik dan jangka pendek. Islamlah yang dijadikan tuntunan, bukan pengekor bagi evidensi-evidensi pemikiran, hatta atas nama kemaslahatan. “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayatKu dengan harga yang rendah, dan hanya kepadaKu-lah kamu harus bertakwa,” (QS al-Baqarah: 41). Allah menegaskan kemurkaanNya terhadap orang-orang yang menjual ayat-ayat Allah. “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tak akan berbicara kepada mereka pada hari Kiamat dan tidak akan menyucikan mereka. Dan bagi mereka siksa yang sangat pedih,” (QS al-Baqarah: 174). Karena itulah, setiap gerak-gerik perjuangan menegakkan keadilan sekecil apa pun, tak boleh menyimpang dari rambu-rambu Islam. Setiap penyimpangan yang dilakukan, pada hakikatnya, tak hanya menjadikannya sebagai problem baru, tapi juga menunda datangnya kemenangan. Bukankah, menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya adalah salah satu penghalang kemenangan?Akhirnya, setiap kita harus makin menegaskan ungkapan bahwa “Islam adalah akidah, syariah dan manhaj”, di seluruh lapangan kehidupan. Semua ini adalah keharusan, jika kita tak ingin musuh-musuh Islam kembali mengangkangi hak-hak kemerdekaan ibadah, sosial, ekonomi dan politik kita. Selain itu, seperti yang Allah tegaskan, keadilan juga dapat mengantarkan kita kepada ketakwaan yang merupakan esensi kehidupan. “Berlaku adillah, karena keadilan itu akan membawa kepada ketakwaan,” (QS al-Maidah:8). Wallahu al-muwaffiq.M. Nurkholis Ridwan
Thursday, February 14, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment