Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2072
Mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga
rukun.
Pertama : Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan
pengelola (mudharib)
Kedua : Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.
Ketiga : Pelafalan perjanjian
Sedangkan Imam Asy-Syarbini di dalam Syarh Al-Minhaj menjelaskan, bahwa
rukun mudharabah ada lima, yaitu : Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan
transaksi dan dua pelaku transaksi [1]. Ini semua ditinjau dari
perinciannya, dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.
RUKUN PERTAMA : ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada
rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz
al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid
(normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. [2]
Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus
muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba
atau perkara haram. [3] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal
tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat
dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pematauan terhadap
pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan
haram. [4]
[A]. Modal
Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.
[1]. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd). Dasarnya
adalah Ijma'. [5] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut
pendapat yang rajih. [6]
[2]. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. [7]
[3]. Modal diserahkan harus tertentu
[4]. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya
langsung, dan dapat beraktivitas dengannya. [8]
Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus diketahui.
Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa
alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak
diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung
berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai
barang tersebut menjadi modal mudharabah.
Conothnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib
(pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil
tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati
Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian
keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui
nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya,
seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam
pembagian keuntungan.
[B]. Jenis Usaha
Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
[1]. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
[2]. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang
menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara
yang sangat jarang sekali adanya. [9]
[3]. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang
terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang
mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi,
minuman keras dan sebagainya. [10]
[4]. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambaliyah,
dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha,
[11] dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan system sponsorship pada
satu sisi, dan dengan berbagai criteria lain yang dibolehkan, pada sisi
lainnya. [12]
[C]. Keuntungan
Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian
juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu
disyaratkan dengan empat syarat.
[1]. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, ayitu pemilik
modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan
disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan "Mudharabah
dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi
untuk isteriku atau orang lain", maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak
ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua
orang. [13] Seandainya dikatakan "Seapruh keuntungan untukku dan sepruhnya
untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku", maka ini sah, karena
ini akad janji hadiah kepada isteri. [14]
[2]. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak
saja. Seandainya dikatakan : "Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan
keuntungan sepenuhnya untukmu", maka yang demikian ini menurut madzhab
Syafi'i tidak sah. [15]
[3]. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
[4]. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik
modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana
telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau
seperempat. [16] Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan,
"Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta,
dan sisanya untukku", maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian
juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti "Sebagian untukmu dan sebagian
lainnya untukku".
Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut.
[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian
hanya ditanggung pemilik modal. [17]
Ibnu Qudamah di dalam Syrahul Kabir menyatakan, keuntungan sesuai dengan
kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam
seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah
murni.
Ibnu Mundzir menyatakan, para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak
memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai
kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk
prosentase. [18]
[2]. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya.
Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan
gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal
(investor). [18]
Ibnu Qudamah menyatakan, di antara syarat sah mudharabah adalah, penentuan
bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak mendapatkan keuntungan
dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya
dikatakan "ambil harta ini secara mudharabah" dan ketika akan tidak
dsiebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka
keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian pula kerugian ditanggung
oleh pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia mendapatkan gaji sebagaimana
umumnya. Inilah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i, Ishaaq, Abu Tsaur dan
Ashab Ar-Ra'i (Hanafiyah). [20]. Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini.
[3]. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan
kembali modal secara sempurna. Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil
bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada
kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut,
baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu
perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam
satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna
keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya,
maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini. [21]
[4]. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila
kedua pihak saling ridha dan sepakat. [22]
Ibnu Qudamah menyatakan, jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan,
maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik
modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara
para ulama.
Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal
[a]. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak
adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga
berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
[b]. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki
hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
[c]. Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar
dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka
diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua. [23]
[5]. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak
sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut.
Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang
dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum
seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang
dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi
kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan
akhir.
Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya
Bisa Dua Macam.
[a]. Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua
belah pihak.
[b]. Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan.Yakni dengan cara asset
yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara
kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi
kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha
baru, bukan meneruskan usaha yang lalu. [24]
RUKUN KETIGA : PELAFALAN PERJANJIAN (SHIGHAH TRANSAKSI)
Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku
transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari
ijab qabul
Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan
perbuatan yang menunjukkan maksudnya. [25]
Demikian rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam kerja sama mudharabah, yang
semestinya dipahami secara bersama oleh masing-masing pihak. Sehingga
terbangunlah mua'amalah yang shahih dan terhindar dari sifat merugikan pihak
lain. Wallahu a'lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Takmilah al-Majmu Syarhu al-Muhadzab Imam an-Nawawi, oleh
Muhammad Najib al-muthi'i yang digabung dengan kitab Majmu Syarhu
al-Muhadzab (15/148).
[2]. Al-Fiqh Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu'amalah karya Prof Dr Abdullah bin
Muhammad ath-Thayar. Prof Dr Abdullah bin Muhammad al-Muthliq dan Dr
Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cetakan Pertama, Th 1425H, hal. 169
[3]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, karya Prof
Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar., Cetakan Kedua, Th 1414H, Muassasah
al-Jurais, Riyadh, KSA, hal. 123
[4]. Lihat kitab Ma'la Yasa'u at_tajir Jahluhu, karya Prof.Dr Abdullah
al-Mushlih dan Prof.Dr Shalah ash-Shawi. Telah diterjemahkan dalam edisi
bahasa Indonesia, oleh Abu Umar Basyir, dengan judul Fiqih Ekonomi Islam,
Penerbit Darul Haq, Jakarta, Hal. 173
[5]. Lihat Maratib al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan,
Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, hal.92 dan Takmilah al-Majmu, op,
cit (15/143)
[6]. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu
al-Mumti, op.cit (4/258)
[7]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit hal.123 dan Takmilah al-Majmu op.cit(15/144)
[8]. Takmilah al-Mjamu, op.cit. (15/145)
[9]. Ibid (15/146-147)
[10]. Lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit. hal.176
[11]. Al-Mughni,karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin
at-turki, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajr, (7/177)
[12]. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, op. cit.177
[13]. Lihat Juga al-mughni, op.cit (7/144)
[14]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/160)
[15]. Inid (15/159)
[16]. Lihat Maratib al-Ijma, op.cit.hal.92, asy-Syarhu al-Mumti, op.cit.
(4/259) dan Takmilah al-Majmu.op.cit. (15/159-160).
[17]. Masalah kerugian lihat artikel "Membagi Kerugian Dalam Mudharabah".
[18]. Al-Mughn, op.cit. (7/138)
[19]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit.hal.123
[20]. Al-Mughni, op.cit. (7/140)
[21]. Ibid (7/165)
[22]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit. 123
[23]. Al-Mughni, op.cit. (7/172)
[24]. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit, hal. 181-182
[25]. Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit, hal. 169
Tuesday, March 13, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment