Mudharabah diambil dari kata adh dharbu fil ardhi yang artinya berjalan di muka bumi untuk melakukan perdagangan. Allah Ta'ala berfirman,
"Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah" (QS. Al Muzzammil : 20).
Dan disebut pula qiradh, yang diambil dari kata al Qardhu yang artinya al qath'u, karena si pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk berdagang dan sebagian yang lain dari keuntungannya.
Sedangkan secara istilah, mudharabah ataupun qiradh adalah seseorang menyerahkan modal tertentu kepada orang lain untuk dikelola dalam usaha perdagangan dimana keuntungannya dibagi diantara keduanya menurut persyaratan yang telah ditentukan. Adapun kerugiannya hanya ditanggung pemodal, karena pelaksana telah menanggung kerugian tenaganya sehingga tidak perlu dibebani oleh kerugian lainnya (Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, hal. 162)
Berkaitan dengan hukum mudharabah, Imam asy Syaukani mengatakan, "Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa mudharabah dilakukan oleh para sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga hal ini disimpulkan sebagai ijma' mereka mengenai bolehnya mudharabah" (Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, hal. 167)
Ibnul Mundzir berkata, "Mereka (ulama) telah berijma' akan bolehnya qiradh dengan dinar dan dirham, dan mereka juga berijma' bahwa bagi si pekerja agar mensyaratkan kepada pemilik harta (untuk memperoleh) sepertiga dari keuntungan atau setengahnya atau sesuai apa yang mereka berdua sepakati atasnya setelah menjadi jelas bagiannya" (al Ijmaa', hal. 124)
Di dalam mudharabah, syarat atau perjanjian modal usaha itu datang dari pemodal atau sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui bersama, sebagaimana suatu atsar yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam, bahwa ia mensyaratkan pada seseorang ketika ia memberinya harta pinjaman untuk modal, "Janganlah engkau menggunakannya untuk yang mempunyai hati yang basah (maksudnya hewan), jangan pula engkau membawanya mengarungi lautan dan jangan pula pada lembah-lembah yang dialiri air. Jika engkau melakukan salah satunya engkau menanggung hartaku" (HR. ad Daraquthni no. 242 dan al Baihaqi VI/111, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil V/293)
Dan kerugian di dalam mudharabah ditanggung oleh pemodal, karena pelaksana telah menanggung kerugian tenaga, Imam asy Syaukani berkata,
"Mengenai mudharabah ada atsar lain, diantaranya dari Ali radhiyallaHu 'anHu yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq, bahwa Ali mengatakan, 'Mudharabah yang gagal menjadi tanggungan pemodal, sedangkan keuntungannya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan'" (Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, hal. 167)
Maka dari itu di dalam mudharabah harus tumbuh sikap saling percaya terutama kepercayaan pemilik modal terhadap pelaku usaha. Dengan demikian insya Allah keuntungan atau kerugian sekalipun yang diperoleh dapat diterima dengan lapang dada.
Maraji':
- Panduan Fiqih Lengkap Jilid 3, Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al Khalafi, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Dzulhijjah 1426 H/Januari 2006 M.
- Ringkasan Nailul Authar Jilid 3, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Pustaka Azzam, Jakarta, Cetakan Pertama, November 2006.
Semoga Bermanfaat.
Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar" (QS. An Nisaa' : 48)
Dari Abu Dzar ra., Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Jibril berkata kepadaku, 'Barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka pasti dia masuk surga'" (HR. Bukhari) [Hadits ini terdapat pada Kitab Shahih Bukhari]
No comments:
Post a Comment